Saturday, May 14, 2011

Sesat di New Delhi « Kalam & Kertas

Aku sesat di New Delhi's Airport. Boarding pass hilang entah ke mana, bag besar kena curi, yang ada hanya Nike sandang. Blackberry berdentum dalam kocek seluar – ada voice mail katanya. Aku biarkan saja.

Peluh dingin merintik di dahi, degup jantung persis ingin keluar dari sangkar dada. Ke mana destinasi seterusnya? Pulang ke Kuala Lumpur? Kenapa persinggahan ini jadi pilihan. Mahu ke Eropah kah aku? Timur Tengah? Tiada jawapan. Keliru jadi raja dalam kepala.

Aku dial number peti simpanan suara, suara mu mampir ke telinga. Your intonation has a trace of desperation, albeit a faint one. But the voice was unmistakably yours. And you were pleading with me.

Kau kata kenapa aku pergi? Dan kau kata kalau sekiranya aku terur-terusan keras hati kenapa masih teringatkan masa lampau bersama? Kau desak untuk aku bawa kamu bersama. Lari dari dunia.

Dan aku ulang dengar peti simpanan suara itu berkali-kali. But I did not return the call. Something was pulling me back to where I belong.

Bila aku jaga, dinihari masih jauh. Penanda waktu di Blackberry menunjukkan jam 3 pagi. New Delhi hanya datang dalam transit mimpi.

Kalau kau ketika ini sedang memikirkan tentang aku, let me go, Ja. This pain, this gnawing unbearable torture has been sitting on my frail shoulders for far too long. Aku ingin bebas dari bayang-bayang masa lalu mu. Jam berganti hari, hari bertukar minggu, bulan jadi tahun, kenapa kau masih datang dalam mimpi?

The last time we met, I beg of you to let me love someone else. I pleaded for you to let me go. Did you Ja? Did you even try?

Aku rindu ingin bernafas seperti perempuan lain, Ja. Aku ingin terbang mengejar mimpi, aku kepingin sesat di tanah asing, but thought of you often held me back, the yester years of my inhaling just you through my breathing apparatus.

Letih, Ja. Penat sangat. Tolong please?